Pasuruan Masa Awal dan Perkembangan Islam



Selain nama “Pasuruan” yang beberapa kali disebut dalam Nagarakretaga-ma, ada nama lain yang dilokasikan di wilayah Pasuruan yang diberitakan dalam sumber data tekstual pada Masa Awal Perkembangan Islam, yaitu nama “Gamda”. Nama ini beberapa kali diberitakan oleh Tome Pires dalam “Suma Oriental”. 

Pada dasawarsa pertama abad ke-16 yang menjadi raja di Gamda adalah putra “Guste Pate”– mahapatih kerajaan besar “kafir” (Majaphait). Ia adalah menantu dari “Pa-te Pijntor”, yaitu raja “kafir” yang berkuasa di Blambngan, dan sekaligus menantu raja Madura. Dengan demikian, secara ganeologis penguasa Pasuruan masih ber-kerabat (putra) dari penguasa Majapahit, yaitu Guste Pate – bisa diidentifikasi dengan Penguasa pada “kantong kekuasaan Hindu” Sengguruh di Malanag Sela-tan.

Menutut informasi Pires, kala itu Sengguruh termasuk dalam wilayah Gamda.
Selain itu terdapat jalinan kekerabatan antara Pasuruan dengan Blambangan serta Pasuruan dengan Madura lewat perkawianan poltik. Secara politis kala itu kedu-dukan Pasuruan [sebagai daerah kekuasaan Hindu] terbilang masih kuat, meski di daerah pesisiran lainnya pada Pantura Jawa telah tumbuh Kasultanan Islam, yakni Demak dan kemudian Giri. Para penguasa ‘kafir” di pedalaman Jawa Tumur, ter-masuk juga Gamda, bersemangat untuk menentang pasukan-pasukan Islam yang mendesak masuk ke wilayah Jawa Timur.

Pires menyebut penguasa Gamda (Pasuruan) dengan nama “Pate Sepetat”. Nama “Sepetat” adalah pengucapan dalam lidah orang Portugis untuk tokoh yang dalam ‘Babad Pasuruan” dinamai “Menak Sepetak, atau Menak Supetak” sebagai  pendiri Kota Pasuruan. Dalam legenda lokal ini Sepetak dikisahkan sebagai ber-ayah seekor anjing. Metafora ini serupa dengan legenda totemis Sangkuriang.

Ada kemukinan pengkisahan bahwa ayah Sepetak sebagai seekor “anjing” adalah pen-citraan bernada merendahkan, yang ibaratkan orang “kafir” sebagai anjing, hewan yang najis. Penyebutan gelar “menak” bagi pengusa di Pasuruan itu memberi pe-tunjuk bahwa legenda ini berasal dari pasca Masa Hindu-Buddha.

Dalam catatan Pires, jabatan yang disandang oleh Sepetat adalah “Pate”, berasal dari kata “patih” ataupun “mahapati[h]”, atau bisa jadi dari kata “pati”. Sedangkan jabatan mentua-nya, pengusa di Blambangan, adalah “Pijntor”, suatu transelir Potugis dari istilah Jawa Kuna “Bhatara”. 

Informasi “Suma Oriental” ini memberi gambaran bahwa hingga permulaan tahun 1500-an pengaruh Hindu-Buddha di Pasuruan masih cu-kup kuat, lantaran pemegang tampuk kekuasaan di sini adalah keturunan penguasa Majaphit dan sekaligus menanti penguasa Blambangan da Madura. Atas bantuan mertuanya, Pate Sepetat memerangi raja Surabaya dan menghalang-halangi proses penyebaran Islam di Jawa Timur dan ujung timur Jawa.




Pengaruh budaya-politik Demak atas Pasuruan baru berlangsung pada ta-hun 1535, empat tahun setelah penaklukan atas Surabaya. Sedangkan penaklukan terhadap Sengguruh baru bisa direalisasikan 10 tahun pasca penaklukan Pasuruan. Kendati penguasa di Pasuruan berhasil dikalahkan oleh pasukan Demak di bawah pimpinan Sultan Tenggono, namun bukan berarti bahwa dengan serta merta pada waktu itu seluruh warga Pasuruan berhasil diIslamkan.

Ketika Sultan Tenggono berhasil menaklukkan Pasuruan dalam rengka ekspansi Demak ke wilayah Jawa Timur untuk menundukkan para penguasa daerah yang masih “kafir”. Islamisasi Demak ke Jawa Timur berlangsung bersamaan dengan ekspansi politik kasultanan Islam perdana di Jawa ini.