foto: ANTARA/Sahrul Manda Tikupadang
Suku Kajang adalah suku yang mendiami desa-desa di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Desa suku Kajang yang utama adalah desa Tana Toa. Selebihnya, mereka tersebar di desa Bonto Baji, Malleleng, Pattiroang, Batu Nilamung, dan Tambangan.

Rumah adat suku Kajang berbentuk rumah panggung, ‘tak jauh beda bentuknya dengan rumah adat suku Bugis-Makassar. Bedanya, setiap rumah dibangun menghadap ke arah barat. Membangun rumah melawan arah terbitnya matahari dipercayai mampu memberikan berkah.

Wilayah desa suku Kajang dikelilingi hutan-hutan yang terawat dan masih perawan. Suku Kajang memang memiliki adat untuk menjaga lingkungan. Toh hutan-hutan itu jugalah yang menjadi sumber penghidupan bagi mereka.

Ciri khas suku Kajang yang paling menonjol adalah pakaian adatnya yang serba hitam. Bagi mereka, hitam adalah persamaan. Tidak ada beda antara hitam yang satu dengan yang lain. Selain itu, hitam juga merupakan simbol kesakralan.

Suku Kajang juga teguh untuk hidup sederhana sesuai adat. Mereka menolak segala bentuk perkembangan teknologi. Bagi mereka, teknologi dapat membuat hidup menjadi negatif dan dapat merusak lingkungan.

Ajaran tentang menjaga lingkungan dan kesederhanaan hidup tersebut tertuang dalam ajaran agama Patuntung, agama suku Kajang. Patuntung, secara bahasa, berarti penuntun. Penuntun untuk mencari sumber kebenaran.

Ajaran utama agama Patuntung adalah jika manusia ingin mendapatakan sumber kebenaran maka manusia harus menyandarkan diri pada tiga pilar utama: menghormati Turiek Akrakna (Tuhan), tanah yang diberikan Turiek Akrakna (tana toa atau lingkungan secara umum), dan nenek moyang (To Manurung atau Ammatoa).

Percaya pada Turiek Akrakna adalah hal mendasar dalam agama Patuntung. Suku Kajang percaya bahwa Turiek Akrakna adalah sang Maha Kekal, Maha Mengetahui, Maha Perkasa, dan Maha Kuasa.

Turiek Akrakna menurunkan perintahnya kepada masyarakat Kajang melalui passang (pesan atau wahyu) yang diberikan kepada manusia pertama yang diturunkan ke dunia, To Manurung atau yang kemudian disebut Ammatoa.

Passang berisi pengetahuan hidup yang harus ditaati. Kalau tidak ditaati maka akan terjadi hal-hal buruk. Salah satu contoh passang adalah: punna suruki, bebbeki. Punna nilingkai, pesoki (kalau kita jongkok, gugur rambut dan tidak tumbuh lagi. Kalau dilangkahi, lumpuh).

Agar pasang tersampaikan dengan baik maka Turiek Akrakna memerintahkan Ammatoa untuk menjaga dan menyebarkannya. Ammatoa juga berfungsi sebagai mediator antara Turiek Akrakna dengan manusia. Makanya, adat suku Kajang sering juga disebut adat Ammatoa.


Sumber : Kompas.